B | elakangan ini saya sering mendapat pertanyaan tentang cyberlaw, yaitu hukum yang terkait dengan masalah dunia cyber. Di Indonesia saat ini sudah ada dua |
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan
dengan dunia cyber, yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi
Informasi dan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik. Saya sendiri kebetulan terlibat dalam RUU yang
pertama.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah
dunia cyber ini bisa diatur? Banyak orang yang berpendapat
bahwa dunia cyber tidak bisa diatur. Di sana tidak ada aturan.
Pendapat ini tidak benar! Kalau kita perhatikan asal kata
“cyber” bermula dari kata “cybernetics”. Norbert Wiener di
tahun 1947 menggunakan istilah
Namun, apakah memang di Internet semua harus menjadi
anonimous? Tidak juga. Kita dapat menggunakan arsitektur
sistem yang mengharuskan seseorang untuk
mengidentifikasikan dirinya sebelum memperoleh layanan.
Sebagai contoh, untuk mengakses web dari kampus ITB, kami
menggunakan proxy yang ber-password. Hanya orang yang
memiliki userid dan password yang terdaftar yang dapat
mengakses web. Dalam arsitektur ini, maka identitas seorang
pengguna harus jelas baru dia dapat memperoleh layanan.
Adanya identitas yang jelas ini lebih mudah dalam pengaturan
sebab seorang pengguna akan dapat dikaitkan dengan
aktivitas yang dilakukannya (misalnya mengakses web
pornografi). Di kampus lain mungkin akses ke web tidak
dibatasi dan tidak
ini untuk mendefinisikan sebuah
bidang ilmu yang terkait dengan
elektro, matematik, biologi,
neurofisioligi, antropologi, dan
psikologi. Wiener dan kawan-
kawan kemudian mengadaptasi
Banyak orang yang berpendapat
bahwa dunia cyber tidak bisa
diatur. Pendapat ini tidak benar!
membutuhkan mekanisme
otentikasi, sehingga orang
dapat menjadi anonimous. Jadi,
pemilihan arsitektur sistem
menentukan mudah atau
tidaknya dunia cyber diatur.
kata dari bahasa Yunani (steersman) yang bermakna atau
terkait dengan prediksi, aksi, kendali, umpan balik, dan respon.
Yang menarik juga, kata “governor” juga berasal dari kata
Yunani yang sama. Aplikasi dari bidang cybernetics ini sering
terkait dengan pengendalian robot (dari jarak jauh). Kalau kita
perhatikan, pengendalian secara total merupakan salah satu
aspek dari cybernetics. Jadi agak mengherankan kalau
“cyberspace” justru tidak dapat dikendalikan, bertolak
belakang dengan makna awalnya.
Jika dunia cyber dapat diatur, bagaimana cara mengatur-
nya? Pakar ilmu hukum Lawrence Lessig dalam bukunya, Code
and Other Laws of Cyberspace, menunjukkan berbagai cara
untuk mengatur dunia cyber. Salah satu pokok yang dia
utarakan adalah pengaturan melalui arsitektur dan code
(program) dari sistem yang digunakan. Saya ambil sebuah
contoh, yaitu masalah anonimity. Di Internet, katanya, orang
dapat menyaru menjadi siapa saja. Karena itulah, ada
penyataan yang mengatakan bahwa “on the internet nobody
knows you’re a dog.” Masalah anonimity ini kemudian
menjadi masalah karena orang menjadi lepas tanggung jawab.
Banyak orang yang beranggapan bahwa lebih baik
pemerintah tidak ikut campur dalam urusan aturan, dan biarkan
mekanisme pasar (baca: bisnis atau e-commerce) yang
menentukan. Kalau kita perhatikan lebih teliti, bisnis lebih
menyukai adanya identitas yang jelas, bukan anonimity. Jadi,
sebetulnya mekanisme pasar akan membuat dunia cyber lebih
mudah diatur. Mungkin hal ini tidak terlalu intuitif.
Saat tulisan ini dimuat, kedua RUU tersebut sudah siap dan
hanya membutuhkan pembahasan di DPR. Selama belum ada
UU cyberlaw tersebut, apakah orang dapat berbuat semena-
mena di dunia cyber? Tentu saja tidak. Ada sebuah pendapat
bahwa tidak ada negara yang vakum hukum. Kita dapat
menggunakan undang-undang lain untuk menangani kasus-
kasus yang terjadi. Masalahnya UU yang ada saat ini tidak
efektif dan efisien untuk menangani kasus yang terjadi.
Permasalahan yang terjadi di dunia cyber, misalnya yang
berurusan dengan nama domain atau penipuan-penipuan,
membutuhkan penyelesaian yang cepat. Jadi, UU cyberlaw
tersebut masih tetap dibutuhkan dan dibutuhkan sesegera
mungkin.
0 comment